Aug 16, 2010

Ketika Kita Merdeka 65 Tahun yang Lalu

Indonesia Raya, merdeka merdeka, Hiduplah Indonesia Raya.

65 tahun adalah usia dimana pubertas kedua terjadi bila dia manusia. Sedangkan bagi sebuah negara 65 tahun adalah masa yang panjang buat berbuat sesuatu bagi rakyatnya.

Sudahkah negara berbuat sesuatu untuk kita? atau sudahkah kita berbuat sesuatu untuk negara kita yang berumur 65 tahun ini?

indonesia_ind10-hp 
(bahkan Google pun turut serta merayakan Kemerdekaan Bangsa yang kita cintai ini)

Karena itulah posting ini muncul sebagai “sesuatu untuk bangsa”. Saya belum bisa memberikan sesuatu yang bernilai besar bagi nama bangsa ini. Tapi saya akan mencoba menulis.

Sebuah kisah tentang Parjo penjual tempe yang punya peranan terhadap Proklamasi.

65 tahun lalu Soekarno dan Hatta sebelum memproklamirkan kemerdekaan bangsa kita bersama.
Ratusan kilo dari Pegangsaan Timur ada seorang penjual tempe bernama Parjo. Parjo adalah tipikal pahlawan yang sering luput dari pengamatan buku sejarah kita. Parjo si penjual tempe, adalah pahlawan yang gagah berani.

Parjo si penjual tempe yang miskin, yang kadang mesti makan ubi kalau tempenya gak laku2. Pada suatu hari Parjo yang tidak tahu bagaimana cara bertempur, bagaimana cara memegang senjata, bertemu dengan rombongan tentara jepang.

Tentara jepang itu lalu dengan mata sipit kulit kuning, mulai bermata jalang. Mungkin saja mereka abis minum tuak. Atau saja mereka kurang tidur. Mata merah mereka mulai mengarah pada Parjo. Saat itu ada larangan bagi rakyat jualan tempe. Alasannnya ditakutkan tempe membuat mental prajurit menjadi mental tempe. Alasan yang dibuat2 memang.
Tapi begitulah masa itu, semuanya demi kesengsaaraan rakyat.

Parjo pun dipanggil, “Sini kamu, haik”. Parjo cuek saja. Tentara Jepang mengulangi pangilannya. Parjo tetap cuek bebek. Tentara Jepang emosi. Mata sipit makin sipit. “Duar”. Pistol meledak, mengeluarkan peluru ke udara. Parjo makin cuek saja berjalan. Tentara Jepang makin belingsatan. Saking emosinya, dia mengamuk dan memberondongkan peluru ke mana saja. Mungkin karena mata sipitnya, peluru yang harusnya mengarah ke Parjo, eh malah mengarah ke teman2nya sendiri. Sementara itu Parjo berjalan terus, seakan mencueki apa yang terjadi belakangnya. Pokoknya kalau di film2 adegan si Parjo jalan membelakangi tentara Jepang itu keren. Si Parjo yang cool, desir angin dan sedikit debu serta desingan peluru dari senjata tentara Jepang.

“Hikido ne Samo Marumaruuki na Watawatawa” kata tentara jepang lainnya. Artinya? INI SUDAH MEMALUKAN, KITA BAKAL JADI BAHAN TERTAWAAN. Mungkin karena malu, si penembak itu berteriak “HARAKARI mas sasuka”, entah apa artinya tapi dia langsung mencabut pisau belatinya dan langsung menusuk perutnya. Lalu berteriak keras yang kalau ditransletin teriaknya “Anjrit, sakit banget. Au Au”.
Anehnya karena mungkin teler atau karena ikutan malu, temannya yang lain ikutan Harakari. Sepertinya si penembak itu pemimpinnya. Dan bagi mereka kematian pemimpinan, adalah kematian mereka juga. Bagus.

Setelah itu berita tersebar dengan versi masing2. ada yang bilang si Parjo sebenarnya adalah si Pitung. ada yang bilang si Parjo adalah titisan gunung kidul. Semakin hari semakin ngawurlah gosipnya. Pokoknya tersebar kemana2. Cerita pun berkembang di markas tentara Jepang. Keadaan itu meruntuhkan mental mereka. Drop dan melowbatkan semangat mereka. Bagi mereka, mati di ujung samurai lebih baik daripada dicuekin penjual tempe. Bagus.
Kecemasan melanda seluruh bala tentara Jepang. Wibawa mereka habis di tangan Parjo.

Melemahnya wibawa Jepang ini mulai terasa dimana2. Mereka sepertinya cemas dan sedikit takut. Waktu itu bulan Agustus 1945. Mungkin mereka semua takut bertemu si Parjo di jalan. Keadaan inilah kemudian yang dirasakan sebagai momentum, untuk mengambil kedaulatan Negara dari Jepang. Buktinya setelah peristiwa Parjo kemudian lahirlah beberapa peristiwa yang kita kenal sekarang. Misalnya Rengasdengklok hingga Proklmasi itu sendiri tanggal 17 Agustus 1945. Semua itu sedikit banyak ada pengaruh dari Parjo. Bisa dibayangkan kalau Parjo tidak ada, mungkin kemerdekaan bisa saja di delay.

Pesan moralnya, bila Parjo yang penjual tempe dan tuli itu bisa berbuat sesuatu untuk kemerdekaan. Kenapa kita tidak bisa?

Apa? Parjo TULI?

No comments:

Post a Comment

do you really need to give a damn??